Pasang Iklan hubungi Indra 02191872929

Pasang Iklan link perusahaan di informasi komersial Rp 75,000 /bulan

Pasang Iklan Sponsor Perusahaan Rp 100,000 /bulan


Info Hubungi Indra: 021 9187 2929-0813 9809 1829


Minggu, 22 Agustus 2010

Ketika Pasangan Berubah Peran Menjadi Orangtua

"Kamu bukan ayahku!", "Jangan sok menjadi ibuku!" Apakah Anda pernah mengatakan kalimat-kalimat seperti di atas kepada pasangan Anda atau mendengarnya dari pasangan Anda? Tak seorang pun ingin diperlakukan sebagai anak oleh pasangannya. Hal itu merendahkan dan menyinggung perasaan. Ingatlah bahwa kita adalah orang dewasa dan kita ingin menjadi lebih baik daripada orangtua kita.

Namun, benarkah demikian? Mungkin bukannya ingin menjadi lebih baik daripada mereka, kita justru menjadi mereka. Ketika kita semakin tua, semakin mungkin kita meniru sikap-sikap orangtua kita. Jebakan orangtua seringkali menyelinap masuk ke dalam diri kita dari arah yang lain. Tak seorang pun ingin menikah dengan ‘orangtuanya' bagaimanapun suksesnya ayah atau ibu kita sebagai orangtua. Tetapi justru terkadang orang yang berkelakuan seperti orangtua kitalah yang kita nikahi. Seperti halnya seorang pria yang akhirnya menikahi wanita yang seperti ibunya, atau seorang wanita yang menikahi seorang pria seperti ayahnya. Atau bahkan kita berharap agar pasangan kita berkelakuan seperti orangtua kita.

Apabila ayah dari seorang wanita adalah orang yang suka bekerja keras, seorang pengelola keuangan yang baik, atau sangat sabar, maka ciri-ciri itulah yang diharapkan oleh istri dari suaminya. Apabila ibu dari seorang pria pintar memasak atau suka olahraga atau sangat optimis, ciri-ciri itulah yang diharapkan suami dari istrinya. Kita mengingat setiap sifat positif dari orangtua kita dan beranggapan pasangan yang baik seharusnya juga mempunyai sifat-sifat itu. Apabila tidak, kita akan kecewa dan merasa dicurangi atau ditipu. Dan di saat yang bersamaan, kita juga mengingat semua sifat negatif dari orangtua kita dan beranggapan pasangan yang baik tidak mempunyai sifat-sifat itu. Orangtua merupakan tokoh-tokoh penting dalam hidup kita dan suka atau tidak, kita senantiasa hidup dalam bayangan mereka. Tentu saja hal itu bukan merupakan suatu hal yang jelek.

Kebanyakan istri ingin suami mereka melakukan sekurang-kurangnya sama baiknya seperti yang dilakukan ayah mereka pada bidang-bidang tertentu dan sangat berharap hasilnya akan lebih baik. Wanita ingin suami mereka sekuat ayah mereka, tetapi juga sesensitif ibu mereka. Campuran yang menarik ini sulit dicapai oleh kebanyakan pria. Namun, sebagaimana ayahnya menetapkan standar minimum dalam hal memenuhi kebutuhan dan memberi perlindungan, maka hal tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh suaminya untuk membuktikan cinta sang suami kepadanya.

Demikian juga halnya dengan seorang pria. Apabila istrinya tidak penuh kasih seperti ibunya, sang suami kerap kali akan melihat istrinya tidak feminim dan menantang kemaskulinannya. Walaupun begitu, meskipun pria ingin istrinya halus dan lemah lembut seperti ibunya, ia juga ingin istri mereka kuat seperti ayah mereka dalam menangani tekanan-tekanan hidup tanpa hancur berantakan. Apabila seorang wanita kelihatan terlalu kuat, suaminya mungkin melihatnya sebagai seorang pesaing daripada seorang teman. Pria mungkin tidak selalu mengakui hal ini, tetapi mereka kerap kali tertarik pada wanita yang dapat mengekspresikan sisi halus mereka. Itulah yang dilakukan oleh seorang ibu.

Kebanyakan wanita suka dinafkahi dan dilindungi, sementara seorang pria kebanyakan suka diasuh dan dihibur. Tetapi, tidak ada seorang pasangan pun yang suka diperlakukan seperti anak-anak oleh pasangan lainnya. Tindakan itu meremehkan dan tidak menghormati. Kita adalah orang dewasa sehingga kita perlu diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak-anak. Apapun keluhan Anda, ingatlah: menjadi orangtua bagi pasangan Anda tidak akan memperkuat pernikahan Anda. Dalam pernikahan yang sehat, para pasangan tetap menjaga peran mereka. Suami perlu menjadi suami, bukan ayah; istri perlu menjadi istri, bukan ibu.

Apabila seorang pasangan mulai bertindak sebagai orangtua, pasangan yang lain mungkin memilih salah satu dari strategi pertahanan diri yang tidak sehat berikut ini:
1. Mulai bertengkar. Anda mungkin sengaja menciptakan pergulatan kekuasaan yang intens seperti halnya yang Anda lakukan ketika orangtua Anda melukai hati Anda, biasanya terhadap sesuatu yang sangat bodoh.
2. Membangun tembok. Perasaan diremehkan dapat menjadi begitu menyakitkan, sehingga Anda menarik diri untuk menyembuhkannya. Pasangan Anda tidak lagi merasa aman dan Anda membangun tembok kemarahan.
3. Bertindak sebagai kanak-kanak. Anda mengatakan kepada diri Anda sendiri bahwa jika pasangan Anda akan memperlakukan Anda sebagai kanak-kanak, Anda mungkin akan memenuhi harapan-harapan suami atau istri Anda.
4. Mencari tempat lain. Ketika Anda merasa tidak dihormati dan dikesampingkan, Anda mungkin tergoda untuk mencari orang lain selain pasangan Anda untuk mengisi kekosongan.
Masing-masing hal tersebut di atas sangat berbahaya, dan pada dasarnya bersifat menghancurkan hubungan Anda.
Jebakan lainnya dari gambaran orangtua kita meliputi keterbukaan kita satu sama lain. Kadang-kadang kita ngotot ingin mengontrol. Ketika kita masih kanak-kanak, orangtua yang memegang kendali. Sebagai orang dewasa, kita melawan apa yang menyerupai kontrol pasangan kita; hal ini banyak mengingatkan kita akan masa lalu. Maka, kita kemudian melakukan dua hal berikut ini:
Susah bagi kita untuk mendengarkan kebenaran dari pasangan kita sendiri. Dan seringkali kita justru dapat mendengar kebenaran dari orang lain. Kita tidak mempercayai dan menentang persepsi atau opini pasangan kita, tetapi kita mendengarkan pikirang yang sama dari seorang teman.
Susah bagi kita untuk menerima pertolongan dari pasangan kita. Tawaran pertolongan dari pasangan kita terasa seperti mengontrol atau mengomentari kemampuan kita. Kita ingin membuktikan bahwa kita dapat melakukannya sendiri. Namun tawaran pertolongan dari seorang teman kelihatan murah hati dan peduli.
Ketika kita melawan satu sama lain dengan salah satu cara di atas, berarti kita sebenarnya masih mencoba membuktikan kemerdekaan kita dari orangtua. Kita semua tertarik pada hal yang sudah familiar. Ada ikatan kemiripan antara orangtua dan pasangan kita. Orangtua dapat menakjubkan, tetapi mereka mempunyai peran khusus dalam kehidupan kita. Orangtua memberikan keteladanan mengenai kedewasaan dan pernikahan yang sehat. Orangtua menciptakan harapan-harapan mengenai apa yang seharusnya dilakukan setiap pasangan. Orangtua juga membentuk ketakutan-ketakutan kita mengenai apa yang tidak sehat dalam pernikahan dan pola-pola negatif yang tentu saja ingin kita hindari. Namun, satu hal yang harus kita sadari adalah masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh orangtua kita dapat menyelinap juga dalam pernikahan kita.

Maka, perlakukanlah pasangan Anda dengan penuh cinta dan kebaikan. Bagi kaum wanita, jangan memanjakan atau menjadi ibu bagi suami Anda, walaupun suami Anda kelihatannya sangat menginginkannya. Bagi kaum pria, jangan mengontrol atau memerintah istri Anda; bersikaplah lembut kepadanya, jangan menjadi ayahnya. Perlakukanlah satu sama lain dengan penuh hormat. Menjadi anak sekali dalam seumur hidup kita sudah cukup.

Source : Dr. Steve Stephens รข€“ Lost In Translation

by :Indra putra

Tidak ada komentar: